Wednesday, March 22, 2017

Stasiun Manggarai

kompas.com

Kalo lagi sendirian nunggu di salah satu peron stasiun Manggarai tuh entah kenapa pikiran saya selalu melayang-layang. Saya senang memperhatikan sekeliling saya, cara jalan, cara berpakaian, nada bicara, cara bersikap terhadap orang lain, sedang membaca buku, bermain gadget, mendengarkan lagu, ngobrol, bermesraan, marah, bingung, takut tersesat. Semuanya bisa saya lihat jelas di depan mata saya sendiri. Seringnya saya sadar, bahwa sesendiri-sendirinya saya, saya seperti merasa punya teman. Saya sadar, atmosfer di stasiun telah melempar saya jauh pikiran saya terhadap gambaran ‘Jakarta versi mini’ ini. Kenapa saya sebut sebagai ‘Jakarta versi mini’? karena semua orang yang berasal dari berbagai penjuru tumpah ruah pada satu tempat transit paling utama ini. Stasiun Manggarai. Sedikit banyak stasiun ini juga menyimpan banyak kisah seolah-olah jadi saksi bisu setiap kejadian yang dialami para penumpang kereta Commuterline Jabodetabek ini.
Saya pernah liat seorang ibu yang menggendong anak perempuannya yang lumpuh hendak bertanya kepada petugas penjaga peron, kemana arah kereta menuju Bogor, katanya. Setelah mendapat penjelasan singkat dari si penjaga peron, Sang ibu yang terlihat mulai lelah berjalan sedikit gontai kearah peron jalur 6, dimana kereta arah Bogor itu menuju. Perih betul saya melihat pemandangan itu. Perih seperti hati saya tersayat kemudian ditetesi jeruk nipis di lukanya. Hati saya memang sensitif, melihat hal-hal yang seperti itu saja saya mewek. Pernah juga, waktu saya duduk disalah satu gerbong commuterline arah Jakarta Kota, seorang ibu paruh baya yang mengenakan jilbab duduk disebelah saya. Dia menaruh sembarangan tas-tas dilantai kereta yang berisi entah apa saja itu. Tangan kanannya dimasukan kedalam kantong dan beberapa saat kemudian dia mengumpat sambil memukul-mukul tangan kanannya itu. Sontak saya langsung terkejut dan mencuri-curi pandang kearah ibu tersebut. Apa yang salah? Gila kah beliau? Pertama kali terlintas dipikiran saya, bahwa beliau punya gangguan jiwa. Karena yang dilakukannya itu aneh. Namun, singkat cerita, beliau akhirnya bercerita pada saya bahwa beliau membenci tubuh setengah lumpuhnya itu, termasuk tangan kanannya! Disitu saya langsung membeku berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang beliau katakan. Beliau mengidap penyakit kanker serviks yang sudah menjalar dan menyerang syaraf alat gerak kanannya. Dengan sangat hati-hati saya menanggapi apa yang beliau ceritakan. Mulai hanya dengan meng iya kan sampai mengangguk-angguk serius mendengarkan kisah beliau. Sungguh tidak sampai hati saya begitu beliau bilang “Saya di usir dari rumah kakak ipar saya, makanya saya bawa banyak barang. Cuma ini, neng, yang bisa ibu bawa.” Matanya berkaca-kaca. Begitupun dengan mata saya.
Sesampainya di stasiun Manggarai, saya menawarkan diri untuk membawa barang-barangnya ke kereta Bekasi. Tempat tujuannya. Saya sendiri tidak persis tau, kerumah siapa di Bekasi. Menuntun beliau menyebrangi peron, dan tiba didalam gerbong Bekasi yang terbilang cukup padat, beliau berkata “Neng, makasih banyak ya, Neng. Sehat terus ya, Neng.” Disitu rasanya saya ingin meneteskan air mata, tetapi mengingat banyak orang yang melihat, saya berhasil tahan.
Dari situ saya belajar banyak, dari sepenggal dua penggal cerita dari seorang ibu yang lumpuh sebelah badannya, dari seorang ibu yang menggendong anaknya yang lumpuh, dari seorang bapak-bapak buta yang dituntun seorang petugas peron. Ditengah kehiruh pikukan stasiun Manggarai yang hampir tidak pernah sepi ini. Masih banyak sisi kemanusiaan yang begitu menyentuh hati siapapun.

Ada yang ketahuan menyopet, ada yang ketahuan melakukan tindak pelecehan seksual, ada yang bertengkar karena saling menyalahkan, ada yang bergandengan tangan, sesama perempuan, sesama laki-laki. Saya pernah lihat semuanya. Ada yang berpakaian terbuka, ada yang menggunakan cadar. Ada yang hamil, ada yang dituntun karena menggunakan kruk, ada yang fisiknya sudah tua tetapi masih sanggup berlari-lari mengejar kereta. Ada yang diam-diam berjualan, walaupun tahu berjualan didalam stasiun sudah dilarang. Ada yang enak menyantap pop mie disaat hari sedang hujan. Ada yang berpelukan karena rasa kangen lama tidak berjumpa dengan kawan lama, ada yang saling membelai rambut. Semua ada di stasiun Manggarai. Jadi alasan apa yang membuat saya tidak menyukai stasiun ini?

No comments:

Post a Comment