kompas.com
Kalo lagi
sendirian nunggu di salah satu peron stasiun Manggarai tuh entah kenapa pikiran
saya selalu melayang-layang. Saya senang memperhatikan sekeliling saya, cara
jalan, cara berpakaian, nada bicara, cara bersikap terhadap orang lain, sedang
membaca buku, bermain gadget, mendengarkan lagu, ngobrol, bermesraan, marah,
bingung, takut tersesat. Semuanya bisa saya lihat jelas di depan mata saya
sendiri. Seringnya saya sadar, bahwa sesendiri-sendirinya saya, saya seperti
merasa punya teman. Saya sadar, atmosfer di stasiun telah melempar saya jauh
pikiran saya terhadap gambaran ‘Jakarta versi mini’ ini. Kenapa saya sebut
sebagai ‘Jakarta versi mini’? karena semua orang yang berasal dari berbagai
penjuru tumpah ruah pada satu tempat transit paling utama ini. Stasiun
Manggarai. Sedikit banyak stasiun ini juga menyimpan banyak kisah seolah-olah
jadi saksi bisu setiap kejadian yang dialami para penumpang kereta Commuterline
Jabodetabek ini.
Saya pernah liat
seorang ibu yang menggendong anak perempuannya yang lumpuh hendak bertanya
kepada petugas penjaga peron, kemana arah kereta menuju Bogor, katanya. Setelah
mendapat penjelasan singkat dari si penjaga peron, Sang ibu yang terlihat mulai
lelah berjalan sedikit gontai kearah peron jalur 6, dimana kereta arah Bogor
itu menuju. Perih betul saya melihat pemandangan itu. Perih seperti hati saya
tersayat kemudian ditetesi jeruk nipis di lukanya. Hati saya memang sensitif,
melihat hal-hal yang seperti itu saja saya mewek. Pernah juga, waktu saya duduk
disalah satu gerbong commuterline arah Jakarta Kota, seorang ibu paruh baya yang
mengenakan jilbab duduk disebelah saya. Dia menaruh sembarangan tas-tas
dilantai kereta yang berisi entah apa saja itu. Tangan kanannya dimasukan kedalam
kantong dan beberapa saat kemudian dia mengumpat sambil memukul-mukul tangan
kanannya itu. Sontak saya langsung terkejut dan mencuri-curi pandang kearah ibu
tersebut. Apa yang salah? Gila kah beliau? Pertama kali terlintas dipikiran
saya, bahwa beliau punya gangguan jiwa. Karena yang dilakukannya itu aneh.
Namun, singkat cerita, beliau akhirnya bercerita pada saya bahwa beliau
membenci tubuh setengah lumpuhnya itu, termasuk tangan kanannya! Disitu saya
langsung membeku berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang beliau katakan.
Beliau mengidap penyakit kanker serviks yang sudah menjalar dan menyerang
syaraf alat gerak kanannya. Dengan sangat hati-hati saya menanggapi apa yang
beliau ceritakan. Mulai hanya dengan meng iya kan sampai mengangguk-angguk serius
mendengarkan kisah beliau. Sungguh tidak sampai hati saya begitu beliau bilang
“Saya di usir dari rumah kakak ipar saya, makanya saya bawa banyak barang. Cuma
ini, neng, yang bisa ibu bawa.” Matanya berkaca-kaca. Begitupun dengan mata
saya.
Sesampainya di
stasiun Manggarai, saya menawarkan diri untuk membawa barang-barangnya ke
kereta Bekasi. Tempat tujuannya. Saya sendiri tidak persis tau, kerumah siapa
di Bekasi. Menuntun beliau menyebrangi peron, dan tiba didalam gerbong Bekasi
yang terbilang cukup padat, beliau berkata “Neng, makasih banyak ya, Neng.
Sehat terus ya, Neng.” Disitu rasanya saya ingin meneteskan air mata, tetapi
mengingat banyak orang yang melihat, saya berhasil tahan.
Dari situ saya
belajar banyak, dari sepenggal dua penggal cerita dari seorang ibu yang lumpuh
sebelah badannya, dari seorang ibu yang menggendong anaknya yang lumpuh, dari
seorang bapak-bapak buta yang dituntun seorang petugas peron. Ditengah kehiruh
pikukan stasiun Manggarai yang hampir tidak pernah sepi ini. Masih banyak sisi
kemanusiaan yang begitu menyentuh hati siapapun.
Ada yang
ketahuan menyopet, ada yang ketahuan melakukan tindak pelecehan seksual, ada
yang bertengkar karena saling menyalahkan, ada yang bergandengan tangan, sesama
perempuan, sesama laki-laki. Saya pernah lihat semuanya. Ada yang berpakaian
terbuka, ada yang menggunakan cadar. Ada yang hamil, ada yang dituntun karena
menggunakan kruk, ada yang fisiknya sudah tua tetapi masih sanggup berlari-lari
mengejar kereta. Ada yang diam-diam berjualan, walaupun tahu berjualan didalam
stasiun sudah dilarang. Ada yang enak menyantap pop mie disaat hari sedang
hujan. Ada yang berpelukan karena rasa kangen lama tidak berjumpa dengan kawan
lama, ada yang saling membelai rambut. Semua ada di stasiun Manggarai. Jadi alasan
apa yang membuat saya tidak menyukai stasiun ini?

No comments:
Post a Comment