Seperti benang tak kasat mata yang menghubungkan satu orang
dengan yang lainnya. Sebagian nggak percaya, dan sebagian lagi sangat percaya.
I’m not talking about social media, yang mengagung-anggung
kan jargon “we are all connected.” Tapi maksud gue disini adalah destiny.
Takdir. Seseorang merasa takdirnya tidak berjalan sesuai dengan keinginannya,
maka ia menjadi sangat membenci takdirnya, dia mulai tidak percaya semua hal
tentang takdir, dan mungkin yang lebih buruknya adalah, dia juga membenci
hidupnya.
So, this is my little story about someone who hate the
destiny. It’s a true story. Gue belajar lebih mencintai takdir gue, mencintai
hidup gue, dari seseorang Ibu yang membenci hidupnya, atau takdirnya.
Sore
itu, sekitar pukul 4 menuju pukul 5, gue pulang kampus naik commuter line yang
menjadi angkutan umum sehari-harinya ngampus. Iya, seharusnya, gue libur, tapi
gue mepergunakan waktu libur gue untuk ngambil matkul yang mengulang. Kebetulan
waktu itu, gue pulang bareng temen gue. Kita berdua naik kereta Bogor-Jakarta
Kota.
Singkat
cerita, gue dapet kursi di gerbong wanita—and this is rarely happen—dan duduk
bersebelahan dengan seorang ibu-ibu berjilbab dengan tas dibawahnya. Awalnya
ngga ada yang aneh dimata gue, tentang si Ibu ini, tapi begitu dia
memukul-mukuli tangan kirinya yang terbalut dengan kantong berkali-kali, gue
jadi insecure sendiri. Disebelah gue, temen gue udah memberikan kode sikutan
tangan, pertanda ‘something wrong with this woman’. Ya gue ngebaca sikap temen
gue itu, gue berusaha untuk tetap stay cool walaupun sebenernya panik juga,
karena seisi gerbong pada ngeliatin si Ibu-ibu sebelah gue. Otomatis, mereka
juga ngeliat tampang gue yang kebingunan, ditambah, ibu itu memukul-mukuli
tangan kirinya yang tertutup itu dengan mengumpat—maaf—‘anj***!’ sontak gue
kaget banget, kenapa sih ibu-ibu ini? Gue nggak tahan melirik dan akhirnya si
Ibu-ibu itu buka mulut ke gue, “maaf ya..” begitu katanya tanpa melihat muka
gue. Yaudah gue jawab aja, ‘gapapa, bu..” lo tau kan? Suara orang panik gimana?
Mungkin kalo ada bangku kosong lagi, gue berusaha pindah deh, daripada harus
duduk sebelahan sama orang begini. My first impression about this person is,
she is freak, crazy or something. Tapi begitu dia bilang “maaf ya...” itu
berarti dia masih sadar dengan keberadaan orang di sekitarnya dong? Jadi gue
masih tetap keep calm. Kemudian beberapa saat kemudian, ibu ini membuka
percakapan sama gue.
“Tangan yang ini mati rasa.”
“Ha?!” oke, ini terlalu berlebihan, enggak, maksud gue, gue
kaget, Cuma memastikan aja, ibu ini beneran masih waras nggak? Atau
jangan-jangan gue yang nggak waras, nanggepin orang nggak waras. Ah, i dont
know. Gue mulai pusing sekarang. Back to the conv.
“Iya, kenapa, Bu?” dengan nada yang sedikit di kalem
kalemin.
“Tangan kiri saya mati rasa, yang ini, nggak bisa digerakin
semua jari-jarinya.” Katanya sambil mengeluarkan tangan kirinya dari kantong
yang daritadi menutupi seperempat dari tangannya.
“Oh ya Bu? Kenapa itu?”
“Dulu, saya kan kena kanker rahim, terus dioperasi, eh
setelah operasi kok malah separuh badan saya mati rasa, nggak ada rasanya gitu
yang kiri, kaki, tangan. Ini nih kaki saya aja udah agak mendingan udah bisa
dibuat jalan 3 bulan ini, biasanya saya mah tiduran aja diem, kaki saya nggak
bisa digerakin.”
“Terus kenapa tangan ibu?”
“ini juga sama gitu, tapi malah kayak nggak punya tangan,
mati rasa aja. Kesel. Atau saya mati aja gitu yah?” DEG...........
“Bu, jangan begitu yah. Allah kasih yang terbaik buat ibu.
Di syukuri aja, Bu.”
“Saya mah, udah capek, neng. Ngelamar kerjaan dimana-mana
nggak ada yang mau nerima. Gini tanggepan orang-orang di mangga dua waktu itu
‘ibu, kenapa tangannya dibungkus gitu, Bu? Ibu ngemis dimana? Aduh maaf Bu saya
nggak bisa menerima ibu’ saya mah sakit hati, udah usaha nyoba ngelamar kerjaan
masih di bilang ngemis. Saya mah pantang ngemis.” Sesungguhnya nih gaes, gue
udah nahan-nahan supaya nggak ada air mata yang iseng netes, tapi beruntunglah
belum sempet netes, gue udah sok-sokan ngucek mata. Gue Cuma bisa menanggapinya
dengan senyum, dan bertanya “Ibu, ini mau kemana , Bu?”
“Ke Bekasi neng, neng sendiri?”
“Oh, sama kok Bu.”
Dan percakapan kami seputar pertanyaan tinggal dimana, dan
dia bertanya gue kalo ngampus naik apa. Tapi setelah itu, tiba-tiba dia bilang..
“saya ini dari Depok, dari rumahnya kakak tiri saya, saya
kalo di rumahnya, kalo dia belom pulang, serumah belom boleh makan,
tanggepannya gini ‘kamu tuh ya, enak aja! Saya yang cari duit kamu yang malahan
enak-enakan makan duluan hasil jeri payah saya’ semenjak saat itu saya jadi
nggak betah, jadi saya pulang aja ke Bekasi.” Gue disini pingin banget
menanyakan tentang keberadaan keluarga dekatnya. Tapi karena gue pikir itu
terlalu private untuk di share, jadi gue mengurungkan niat gue. Setelah itu.
Kita akhirnya sampe di manggarai, stasiun transit. Sebenarnya, during the conv
between me and this woman, temen gue nyenggol nyenggol kepo mau tau dia kenapa.
Dengan nada pelan gue menjawab “ntar gue ceritain lewat line aja” lalu dia
setuju.
Kita bertiga akhirnya keluar dari kereta dan gue ya, nggak
mungkin tega meninggalkan ibu-ibu ini membawa tasnya sendirian. Sebenernya
tasnya emang Cuma satu, dan gue nggak mempermasalahkan beratnya, yang gue
masalahkan adalah, jalan si Ibu ini pengkor. You know? Timpang. Dan melihat
pemandangan ini, gue nggak kuat. Sumpah nggak kuat, akhirnya air mata gue netes
satu. Satu doang, yang sebelah kiri.
Karena gue belom solat ashr, maka gue meninggalkan si ibu
itu di kereta bekasi. Dan hal terakhir yang gue denger dari dia adalah,
“makasih ya, neng. Hati-hati dijalan.”
Untuk kali ini. Gue merasa sangat sangat sangat bersyukur.
Gue masih muda. Masih kuat melakukan apapun sesuka gue. Gue bisa melakukan
hal-hal gila dan keren. Like there’s no tomorrow.
And then, the reality slap me in the face and saying like
‘Wake, up!’
Gue serasa baru aja disadarkan, dari kisah seorang ibu-ibu
yang membenci hidupnya. Yang membenci menjadi cacat, dan tidak disenangi banyak
orang. Membenci dirinya yang dianggap sebagai seorang pengemis. Membenci dirinya
yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa tangan kirinya. Dan kontrasnya, gue
punya keduanya. Gue punya tangan kanan dan kiri yang masih berfungsi baik sampe
sekarang. Kaki kanan dan kiri yang masih bisa gue pake lari-lari kalo
ketinggalan kereta, dan gue masih punya tubuh yang cukup kuat, cukup kuat untuk
desek-desekan ditengah tengah hecticnya jam berangkat kantor bareng orang
kantoran di dalem gerbong wanita.
Tapi gue nggak punya hati sekuat ibu-ibu tadi, walaupun dia
dengan keadaan seperti itu, masih berusaha untuk mencari nafkah.
Banyak banget, orang disekitar kita yang sengaja dihadirkan
oleh Tuhan melalui sebuah takdir. Gue, temen gue, dan si Ibu itu contohnya.
Mungkin sudah Tuhan rencanakan untuk bertemu, dan membuat benang tak kasat mata
itu bertemu, membuat setiap benangnya terikat, dan membentuk simpul rumit.
Sampai sekarang, mungkin gue nggak akan sebersyukur ini, kalau belum dipertemukan
sama si Ibu. Benang takdir gue, dan benang takdir si Ibu sudah di simpulkan
oleh Tuhan, dan seolah-olah membentuk ruang baru di otak gue.
Walaupun gue tahu, banyak cara untuk bersyukur. Tapi jika
Tuhan sudah campur tangan, semua hal akan menjadi sangat luar biasa terkenang
di memori siapapun.
Gue, Anggita Maharani Darmawan. Merasa sangat beryukur
mempunyai semua hal yang gue butuhkan, dan bukan hal yang gue inginkan. Karena
jika semua hal yang diinginkan akan terwujud, kita akan menjadi seseorang yang
rakus dan lupa caranya bersyukur.
.jpg)

No comments:
Post a Comment