Ternyata seberat ini ya, memaafkan.
Harus berdamai dengan diri sendiri dulu, harus menemukan diri sendiri dulu, harus bisa menerima diri sendiri dulu, kemudian bisa memaafkan orang lain.
Makanya ada orang yang mengatakan pahala orang yang memaafkan ketika disakiti orang lain itu sangat besar. Karena ketika kita memaafkan orang lain, Allah maafkan juga dosa-dosa kita. Jadi semacam penebusan dosa hanya karena kita memaafkan orang lain. Makanya memaafkan itu beraaat sekali, saya butuh banyak waktu untuk memaafkan. Jangankan memaafkan, ketika mulut udah berucap memaafkan aja, hati masih terasa ngilu, otak masih mengingat kesalahan-kesalahan orang yang nyakitin.
Lalu kemudian saya tau bahwa memaafkan itu berbeda dengan mengikhlaskan. Saya sudah memaafkan, tapi hati, dan otak masih terus menentang, karena saya belum ikhlas. Saya masih simpan rasa kesal, kecewa, marah, kesedihan karena merasa terbodohi. Saya jadi sering merenung, emosi saya tidak stabil, hati, otak, dan tubuh saya tidak singkron. Saya sadar ada yang tidak benar dalam diri saya.
Saya belum berdamai dengan rasa kecewa saya, saya belum berdamai dengan rasa marah saya, belum berdamai dengan semua emosi yang saya punya saat itu. Saya sering menangis, bahkan ketika sedang tidak ingin menangis. Saya sering bengong, bahkan ketika saya harus fokus kerja.
Prosesnya berat sekali ya?
Tapi kemudian saya sadari dulu bahwa saya juga tidak sempurna, saya juga punya kesalahan, saya juga manusia biasa yang bahkan tidak bisa dihitung dosanya saking banyaknya. Saya nggak yakin dengan perasaan kekecewaan yang berlarut-larut ini setara dengan usaha saya untuk lebih ikhlas.
Ternyata cara saya salah. Saya sembunyikan emosi itu semua. Saya simpan agar orang lain tidak melihat saya sedang sedih. Saya simpan agar orang yang menyakiti saya tidak merasa bahwa saya belum memaafkan dia. Ternyata itu lebih menyiksa saya sendiri.
Kemudian saya beranikan bicara. Saya bilang saya kecewa, sedih, marah, merasa dibodohi, merasa tidak berguna dan lain-lain kepada dia. Saya ungkapkan bahwa saya merasakan itu semua. Berkali-kali dia minta maaf, dan kasih saya pilihan untuk ikhlaskan saya kalau saya pergi saja dari hidupnya, karena dia sudah siap ditinggalkan atas kesalahannya itu.
Masih lekat sekali ingatan saya dengan semua perkataannya, dengan semua pengakuannya kepada saya. Sampai saya pikir, apakah saya tidak cukup baik? apakah saya tidak cukup segala-galanya untuk dia? Pikiran itu ternyata makin membuat racun baru di diri saya. Saya nggak boleh kayak gitu. Akar masalahnya adalah di diri saya sendiri. Kalo diri saya aja nggak diberi ruang untuk memaafkan, gimana saya bisa ikhlas dan memaafkan perbuatan dia?
Suatu malam saya tulis di buku harian saya, saya tulis kalimat berulang. Bahwa saya memaafkan diri saya sendiri, saya terlalu keras terhadap diri saya sendiri, saya sudah cukup baik, saya berhak merasakan kebahagiaan, saya sempurna dengan cara saya sendiri.
Tubuh saya merasa ringan setelahnya. Saya melepas rasa kecewa, marah, emosi, sedih, semuanya. Saya nikmati prosesnya, saya nikmati memory ingatan yang menyakitkan itu, saya rangkul diri saya bahwa itu sudah lewat, tugas saya hanya memaafkan, mengikhlaskan dan tidak membuat lingkaran setan yang baru. Saya tidak lagi berusaha dengan sekeras daya saya untuk melupakan, menghilangkan, atau mengusir secara paksa memory buruk itu semua, saya hanya perlu merasakan mengijinkan perasaan itu ada di dalam diri saya. Karena mereka bagian dari emosi saya, saya tidak lagi menentangnya, saya terima semua perasaan tidak nyaman itu, saya ajak ngobrol diri saya.
Saya kembali sadari lagi, bahwa saya ngga bisa kontrol semuanya, saya ngga bisa mengontrol hawa nafsu orang lain, saya ngga bisa mengontrol mata, hati, atau pun kesukaan atau prilaku orang lain. Kemudian saya berserah diri sama Allah, kalau memang dia jodoh saya, saya minta sama Allah untuk bukakan hatinya, perbaiki sifatnya, rubah pribadinya menjadi lebih baik. Kalo Allah gak ridho dan nggak merestui dia jodoh saya, yaudah, saya minta dia dijauhin dari hidup saya. Sepasrah itu.
Tapi Allah kabulkan doa saya yang pertama. Saya pasrah sepasrahnya sama Allah kalo saya ga bisa lewatin ini tanpa kekuatan Allah, tanpa ada keterlibatan Allah dalam saya mengambil keputusan.
Sampai saya tulis cerita ini, saya masih sama dia, saya sudah ikhlas, dan memaafkan dia sepenuhnya.

No comments:
Post a Comment