Friday, April 12, 2019

"Kamu milih apa?"

http://www.sarameinecke.com/#/vote/


Setelah banyak pertimbangan dan debat sama diri sendiri soal mau numpahin opini tentang satu hal yang lagi sensitif ini, akhirnya menyerah untuk dituangin juga.

Awalnya ragu, karena takut jadi melahirkan jempol-jempol jahat yang komentar, tapi... kayaknya nggak juga sih, soalnya pasar viewers blog saya juga nggak se-massive itu. Dan saya yakin, orang yang mau baca dan ngerti baca pasti bisa mengambil kesimpulan dgn bijak.

Sebentar lagi, pesta demokrasi akan datang, pemilihan umum dewan legislatif yang terjadi sekali dalam 5 tahun akan digelar serentak pada tanggal 17 April nanti. Tapi huru hara nya udah dari beberapa tahun lalu. Saya bukan tipikal orang yang memperlihatkan kecenderungan pilihan saya dimana pun, di semua platform media maupun real life. Saya jarang banget ngomongin politik, bahkan kalo ditanya langsung sama orang terdekat saya. Kalo lagi bahas politik, (orang tua saya paling sering ngomongin politik dirumah, dan saya, hmmm, kalo boleh jujur, seringnya menanggapi seperlunya saja). Bukan bermaksud apatis, menghindari, atau tidak mau berpartisipasi. Sikap saya ini, lebih tepatnya, lebih ke menghindari pertikaian. Udah capek banget sebenernya, kayak mau ngomong ini ntar dikira dukung A, baru ngeluarin pendapat itu udah dianggap ngedukung B.

Masih banyak orang yang sesat pikir sama pendapat orang yang murni memang berpendapat.
"Semua bisa di setir." katanya.

Menjadi orang paling netral di suatu lingkungan itu sungguh sulit. Walaupun seringnya ngebatin dalam hati setelah mendengar pendapat orang yang habis menjelek-jelekan yang bukan pilihannya, meski saya satu pilihan misalnya sama si orang yang menjelek-jelekan itu, tapi kok, rasanya tidak etis aja gitu. Ketika kamu memilih bukan karena visi misi yang sejalan dengan apa yang kamu mau, justru yang terjadi kebanyakan sekarang adalah, kamu memilih karena kamu benci dengan yang bukan menjadi pilihan kamu.

Saya sempet bikin riset kecil-kecilan, studi kasusnya lingkungan terdekat saya sendiri, keluarga, termasuk tetangga-tetangga saya. Saya bikin sedikit catatan, berapa kali bapak saya kumpul dengan bapak-bapak sekomplek dan pulang dengan membawa berita politik, dan berapa kali tetangga saya curhat bahwa dia berdebat dengan ibunya karena merasa di doktrin untuk memilih sesuai dengan pilihan ibunya.
Dan saya mendapati bahwa di lingkungan tersempit saja, hal-hal seperti itu adalah lumrah, coba bayangin kalo hal tersebut terjadi dilingkup sosial yang lebih besar lagi. Kebayang ngga berapa suara yang masuk kedalam kategori pemilih awal, dan belum paham dengan dunia perpolitikan lantas dimanfaatkan "kepolosannya" untuk memilih yang bukan pilihannya?

Swing voter, begitu istilah ngetrend nya. Saya sempat menjadi swing voter di umur 19 tahun pertama kali merasakan pemilu). Saya sempat merasa "diarahkan" dan masuk kedalam pemilih awal. Simply, karena memang belum sengerti itu sama dunia perpolitikan, dan masih belum tau arah politik-politikan, untuk nyari informasi aja bahasanya masih susah dimengerti. Sekarang, saya bisa akses informasi sendiri, mencerna dengan logika saya sendiri, saya bisa paham apa yang didengar belum tentu benar, dan apa yang selama ini diduga-duga belum tentu salah.

Sebenernya, concern tulisan ini apasih? gini lho, pemilihan umum cuma sekali dalam 5 tahun, tapi untuk memperbaiki hubungan yang rusak karena ada perbedaan pilihan dan pendapat, apa bisa diselesaikan dalam waktu singkat? Sepertinya belum tentu.
Mau dari golongan pemilih A, pemilih B, atau bukan golongan mana-mana pun sepertinya konyol kalo kita sikut-sikutan dan sepertinya mereka aja bakal tetep melanjutkan kehidupannya masing-masing kalau nggak terpilih.

Menurut pendapat saya, menanyakan "kamu mau pilih apa" atau "kamu milih apa engga?" dalam pemilu itu sama kayak "kamu hari ini pake daleman apa?" bukan karena saru, hanya saja itu adalah ranah privasi dan mungkin nggak semua orang bisa nerima dan sependapat sama pilihan kamu.
Sekali lagi ya, saya berusaha senetral mungkin dalam menulis opini ini. Sebagai rakyat yang biasa aja, saya cuma berharap pemilu ini bener-bener nggak merubah hubungan kekerabatan siapapun.

Semoga. Mereka. Adil.











No comments:

Post a Comment