![]() |
| redbubble.com |
Nggak sadar tahun ini udah terlewat 36 hari. Tiga puluh enam hari yang gitu-gitu aja, karena emang saya nggak pernah buat resolusi tahunan yang muluk-muluk banget. Kayaknya sekadar untuk lebih kalem dan tenang aja udah sesusah itu dijaman sekarang.
Kalo dibilang jalan ditempat sih nggak juga, karena tiap hari saya belajar hal baru. Salah satu proses belajar saya dimulai dari salah satu buku yang saat ini masih saya jadikan pedoman dalam menyikapi masalah-masalah dalam hidup. Judul bukunya apa nanti akan saya kasih tau.
Dulu saya sempat merasa, apa saya ini terlalu dingin? apa saya ini terlalu nggak peka dan cuek? apa saya ini terlalu santai? Little did I know, ternyata selama ini saya menganut paham stoic atau stoisisme (kamu bisa googling sendiri rincian maknanya) intinya adalah "bodoamat lah sama yang nggak penting", atau "ngapain mikirin orang yang nggak mikirin kita sih?" kurang lebih gitu. Penerapan sehari-harinya bisa dalam bentuk cuek sama hal-hal yang diluar kendali kita. Cuek dalam hal ini bukan sembarang cuek yang bener-bener nggak peduli sama orang disekitar ya, tapi cuek disini adalah peduli sama hal yang diperlukan aja. Kalau saya selama ini sih lebih menerapkannya kalau sedang main sosial media.
Dulu, pernah terpikir untuk menghapus semua sosial media yang saya punya (instagram, twitter, facebook, linked in, pinterest, dll) khususnya instagram sih, dari situ aja keliatan banyak hal negatif nya ya? lihat story orang-orang yang liburan, menempuh hidup baru, kantor yang keren, temen kumpul yang asik dll. Lama kelamaan konsumsi itu jadi toxic buat diri sendiri, yaitu membanding-bandingkan hidup kita dengan diri sendiri, sedikit-dikit down, terus stres mikirin kalo hidup saya gini-gini aja. Karena kesadaran saya kalo instagram itu bisa meracuni pikiran saya jadi saya hapus semua foto di akun saya. Kan niatnya mau ngilangin jejak historis ya, walaupun tau kalo hapus akun udah pasti bakal kehapus juga semua foto-fotonya tp yaudah lah ya tetep saya apus-apusin satu-satu.
Sampai pada tahapan, saya bener-bener mau deactive akun, saya anggurin beberapa minggu, saya puasa sosial media, kok kayak ada yang kurang, jadi susah tau apa-apa aja yang lagi trending. Serba salah emang, kalo buka bikin ngiri kalo nggak buka malah ngga tau apa-apa. Dari puasa sosial media itu, saya nyoba untuk ngedistrak diri dengan kegiatan lain, kayak baca buku, nonton film, atau mewarnai (iya, udah segede ini masih seneng beli buku gambar) jadi lebih happy sih, karena fokus sama diri sendiri, sama kegiatan yang sebelumnya nggak seintens ini melakukannya. Tapi ya namanya manusia itu kan tetep makhluk sosial, saya yang mulai bosen ngelakuin itu semua mulai tergoda lagi buka instagram dan sosmed lainnya.
Tapi kali ini bedanya adalah saya lebih peduli dengan yang penting-penting aja. Hasil dari memfokuskan kepada diri sendiri ada baiknya juga. Sedikit nggak peduli untuk kebaikan diri sendiri itu gapapa sih. Toh setiap buka sosial media satu-satunya yang saya pikirkan hanya untuk mencari hiburan. Udah titik. Itu aja tujuannya. Bukan untuk membanding-bandingkan hidup sendiri dengan orang lain.
Ternyata dari contoh kasus yang saya alami itu termasuk kedalam salah satu sikap seorang stoic yaitu fokus kepada hal-hal yang bisa kita kendalikan bisa membantu kita melalui masa hidup tersulit sekalipun, karena sikap dan presepsi ada sepenuhnya dibawah kendali kita sendiri (dikutip dari Buku Filosofi Teras, Henry Manampiring). Jadi, sugesti utama yang ditanam adalah kendali kita terhadap pikiran kita sendiri. Saya cuma bisa mengendalikan pikiran saya (internal), bukan apa yang orang lain posting di sosial medianya (eksternal). Biarin aja mereka posting apapun di sosmednya. Lalu kenapa diawal tadi saya cerita saya mau hapus akun IG? karena saya masih mikirin hidup orang lain (yang tentu saja tidak bisa saya kendalikan).
Seperti kutipan berikut :
"Ketika orang-orang mengalihkan perhatian mereka dari pilihan rasional sendiri ke hal-hal di luar kendali mereka, (atau) berusaha menghindari hal-hal yang dikendalikan pihak lain, maka mereka akan merasa terganggu, ketakutan dan labil" - Epictetus (Discourses).
Kutipan diatas persis dengan perilaku saya saat merasa sosial media adalah toxic buat hidup saya. Saya jadi labil, terganggu, dan tidak nyaman dengan hidup sendiri. Akar masalahnya berasal dari pikiran sendiri ternyata.
Paham ini mulai menyenangkan bagi saya karena sangat relevan, saya mulai banyak menelisik fakta tentang stoa yang dipopulerkan oleh Marcus Aurelius yang merupakan seorang Kaisar Romawi dan juga seorang Filusuf Stoa, dan menulis sebuah buku yang berjudul Meditation. Kalau mau baca dengan gaya bahasa yang disederhanakan dan relevan dengan gaya hidup orang Indonesia atau manusia jaman sekarang, bisa juga baca buku nya Om Piring (Hendry Manampiring) yang judulnya Filosofi Teras. Banyak banget pelajaran dari membaca buku sederhana itu, mulai merefleksikan diri sendiri ketika tertimpa kejadian tidak mengenakan, mulai bisa mengendalikan emosi negaitf, belajar peduli dengan hal yang penting-penting saja, dan masih banyak pelajaran yang bisa diterapkan.
Efeknya, belakang ini ketika buka IG justru happy-happy aja. Ngeliat postingan temen udah banyak yang nikah, santai. Ngeliat postingan temen liburan ke Jepang kayak jalan ke alfamart, selow. Ngeliat postingan temen mesra-mesraan sama pacarnya, ngikut happy. Atau ngeliat postingan temen dapet kantor yang bagus ada timezonenya, no worries. Apa yang bisa diharapkan dari melihat itu semua kalau bukan cuma buat hiburan? kenapa manusia-manusia jaman sekarang malah insecure sama hidup orang lain sih? padahal dunia nggak berputar dihidup kalian doang kan? dan mau se setres apapun kita, diluar sana pasti ada yang sedang happy sama hidupnya, karena dunia memang selalu nggak adil, dan nggak akan pernah adil sampai kapan pun. Dengan paham stoa ini, saya belajar gimana menerima itu semua, tetap fokus dengan hidup diri sendiri, dan jalanin aja terus. Ngga usah neko-neko ambil keputusan yang nantinya tidak bisa kontrol.
Tanpa mengurangi rasa munafik, saya juga pengen liburan jalan-jalan, saya juga pengen punya pasangan yang selalu ada, saya juga pengen punya kantor keren, saya juga pengen ganti status. Tapi, kepengenan itu semua apa bisa saya kendalikan dalam satu badan? Percayalah, kenyataan tidak seindah postingannya. Selalu ada dua sisi yang orang lain ingin perlihatkan, dan orang lain tutupi.
Semoga kuat.


No comments:
Post a Comment