Sering melihat kecelakaan dari kecil, tidak membuat ku terbiasa melihat darah.
Mungkin itu juga kenapa, aku tidak pernah mau jadi dokter, atau tenaga medis.
Dulu, sewaktu aku kecil sekitar umur enam atau tujuh tahun, aku sering melihat kejadian semacam itu. Karena sejak umur segitu aku sudah mudik dengan menggunakan mobil keluarga dan tidak jarang menemukan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan di jalan. Salah satunya, ya kecelakaan.
Kalau kamu tanya, pernah melihat orang sekarat atau tidak, jawaban ku pernah. Persis didepan mata ku. Sewaktu aku kelas 3 SD.
Waktu itu kami sekeluarga ingin ke tempat wisata pegunungan, Sarangan namanya, semacam tempat tinggi yang bersuhu dingin dan banyak orang menginap. Kemudian aku melihat kejadian itu, jalanan cukup padat dan mobil kami menanjak pelan, namun tiba-tiba seorang laki-laki yang mengendarai sepeda motor yang berboncengan dengan kawannya (mungkin), tidak menggunakan satupun alat pengaman berkendara melekat dibadannya itu, kemudian berhenti mendadak, tepat disamping mobil kami berada. Ku rasa mereka berada di kecepatan tinggi sebelumnya, sampai akhirnya, si pengendara menabrak mobil didepannya. dan leher dari si pengendara itu terbentur cukup keras mengenai stir motornya.
Pikiran anak kelas 3 SD ku waktu itu hanya meilhat sepintas, dan mengira dia hanya kaget dan terbentur. Tidak ada suara menghebohkan seperti kecelakaan-kecelakaan lainnya, hanya decitan suara karet ban motor yang beradu dengan aspal. Namun setelahnya ku pastikan, kamu tidak akan mau melihatnya, karena pemandangan depan mata ku saat itu adalah, busa yang keluar begitu banyak dari mulutnya, kedua pupil matanya hilang, dan kedua tangannya memegangi lehernya. Seketika kedua mata ku langsung di tutup oleh mama ku. Aku kebingungan.
"oom tadi kenapa ma?" cuma itu pertanyaan polos yang keluar dari mulut ku.
Itu salah satunya, setiap mudik, satu dua kecelakaan aku lihat baik secara langsung maupun sudah berlalu, hanya menyisakan kendaraan yang berserakan ataupun mengalamaninya sendiri. Tapi sepertinya, memori anak umur 8 tahun ku itu masih tersimpan dengan baik sampai sekarang.
Aku nggak tau, apakah kejadian-kejadian dimasa lalu ku mempengaruhi sifat ku yang mudah panik ini atau engga. Ku rasa kepanikan ku ini juga memicu syaraf keringat ku yang bisa dikatakan, beda dari orang kebanyakan. Mungkin kamu sering lihat orang berkeringat berlebih, tetapi hanya di beberapa bagian tubuhnya, seperti telapak tangan, lipatan kaki, ketiak, dan telapak kaki. Aku udah searching bahkan konsul dengan 2 dokter di waktu yang berbeda dan jawabannya "tidak apa-apa". Tetapi tentu saja, keringat yang berlebih ini cukup mengganggu aktifitas ku sehari-hari. Banyak cara aku coba untuk menguranginya, bahkan dalam keadaan tidak merasa panikpun keringatku keluar begitu saja. Salah satu cara yang dianjurkan dokter untuk mengurangi keringat dengan olahraga, dan minum air mineral 2.5 liter sehari. Ku rasa itu hanya anjuran biasa yang orang sehat pun harus melakukannya. Sampai ada dimasa aku bilang sama kedua orangtua ku, kalau ada cara melalui operasi untuk menghentikan keringat ku yang belebih ini, aku bersedia operasi. Kedua orang tua ku menolak, mereka bilang aku "tidak apa-apa".
Lama-kelamaan aku kesal dengan kalimat "tidak apa-apa" karena aku merasa "apa-apa". Dan aku butuh pertolongan. Umur ku 17 tahun saat itu, dan salah satu mimpi ku hanya ingin seluruh kelenjar keringatku diberhentikan, bodoh, aku tahu. Karena aku malu dengan diri ku saat itu. Aku seringnya bertanya kepada teman-teman dekat ku, "Kamu nyium bau yang ngga enak dari badan ku? Kalau iya, tolong jujur ya." Kebanyakan dari mereka menggeleng, Mereka berkali-kali bilang tidak pernah bermasalah dengan bau badan ku atau apa. "Mungkin kamu doang kali yang ngerasa kayak gitu, aku nggak pernah nyium bau apapun dari badan kamu, kecuali parfum bau permen mu itu."
Aku pernah setidak pede itu untuk keluar rumah. Kalaupun harus keluar, aku wajib membawa parfum dan deodoran ku kemana-mana.
Masuk ke universitas, aku makin tidak pede bersalaman untuk berkenalan dengan teman baru, aku tidak pede berada didekat-dekat orang banyak. Kemudian aku bertemu teman, yang sekarang menjadi teman baik ku, kami cukup dekat, akhirnya sangat dekat, dan dia orang pertama yang ku ceritakan tentang masalah ku dengan rasa panik ku dan keringat ku yang berlebihan. Dan dia juga yang membuat lelucon "sumber air sudekat" menjadi sesuatu yang lumrah, seharusnya membuat ku tersingung malah membuat ku makin ingin membalas "mau minum langsung dari sumbernya? nih! (nyodorin tangan)" dia jawab "Ewwww!" lalu kami tertawa.
Proses menerima diri sendiri memang cukup lama, tapi ada hal yang membuat ku sadar, kalau bukan kita yang mencintai tubuh kita ini. Siapa lagi yang mau merawatnya? Sudah diberi kelima indra yang sempurna, anggota tubuh sempurna, tinggal menjaga dan merawatnya saja, manusia ini banyak protes. Bagaimana mereka yang (maaf) disabilitas dan lebih bersyukur daripada aku yang cerewet harus diapakan, harus dioperasi, harus diem-diem, gausah salim-salim, malah meribetkan diri sendiri. Aku sudah menerima.
Dear, body.
I'm Sorry.


No comments:
Post a Comment