“Assalamualikum..”
“Lagi apa, Nduk? Ibu
sudah pulang?”
“Oh.. yaudah sebentar
lagi paling, tunggu aja.”
“Tadi lagi main sama
siapa sih?”
“Ini Ayah masih di
angkot, abis itu naik kereta.”
“Mau dibawain apa,
Nduk?”
“Beneran gak mau
apa-apa?”
“Ayah gak capek kok.”
“Yaudah tunggu Ibu
pulang aja ya. Assalamualikum..”
Kira-kira seperti itu lah
percakapan telfon seorang pria paruh baya yang secara tidak sengaja aku dengar
di Metromini sepulang kantor. Nada suaranya rendah, pun tidak terlalu lembut
tetapi sangat hangat, membuat aku yang mendengarnya pun luluh. Seorang pria berpenampilan
sederhana, dengan setelan pegawai kantoran biasa, seperti pegawai-pegawai
kantor pada umumnya. Tanpa menebak-nebak pun aku tahu, dia sedang menelepon
putrinya dirumah. Dengan panggilan ‘Nduk’
khas Jawa yang sangat terdengar halus untuk panggilan seorang anak perempuan. Tidak
ada yang istimewa kelihatannya, tetapi sekilas dari raut wajah yang berhasil
aku tangkap, dia jelas adalah seorang ayah yang pekerja keras. Rambutnya
sedikit botak pada bagian dahi, mungkin karena dia terlalu sering berpikir
setiap hari anak-anak dan istrinya harus cukup memakan makanan yang bergizi.
Dari setelan pakaian dari kemeja sampai sepatunya yang tidak begitu mentereng
menggambarkan dia adalah orang yang sederhana.
Seketika pikiran ku langsung
melayang memikirkan Bapak. Sesosok laki-laki yang namanya tidak pernah luput
dalam setiap ibadah ku. Sesosok laki-laki yang lebih mementingkan anak-anak dan
istrinya ketimbang dirinya sendiri. Yang tak pernah takut apapun, kecuali
Penciptanya. Kasih sayangnya memang tidak secara langsung kita bisa rasakan
sehari-hari. Tetapi dibalik itu semua dia sekhawatir Ibu. Menelepon anaknya
untuk memastikan semua baik-baik saja. Menanyakan kabar Istrinya yang (mungkin)
juga bekerja seperti bapak-bapak tadi yang secara tidak sengaja percakapannya
ku dengar di telpon.
Seperti saat Bapak menjemput ku
di stasiun hampir tengah malam hari, karena ada kegiatan kampusku. Beliau
justru sudah sampai bahkan saat sebelum aku memintanya menjemputku. Dan ya,
beliau menunggu ku hampir lebih dari setengah jam di stasiun hanya untuk
memastikan putrinya ini pulang dengan selamat. Kasih sayangnya tidak pernah
terbaca secara langsung oleh anak-anaknya, tetapi rasanya begitu nyata.
“Capek, Kak?” Beliau bahkan mengajak ku ber-toss-ria dahulu saat
bertemu, ketimbang menyalaminya. Tetapi toh aku tetap menyalaminya setelah
menerima ritual unik beliau tadi hahaha.
“ya gitu deh, udah lama, Pak?”
“Enggak, sebentar kok.” Padahal aku sudah dikasih tau Mama dari
setengah jam yang lalu kalau Bapak udah jemput. Menunggu putrinya pulang kampus
malem-malem selama hampir setengah jam, dibilang sebentar :”)
“Ada teh dirumah, Mama baru buat. Masih hangat.” Siapa yang nggak
luluh mendengar beliau ngomong begitu?
Udah dijemput, dibuatin teh
hangat pula. Memang sih bukan Bapak langsung yang membuat tehnya, tetapi
seketika hangatnya teh yang di buat Mama udah kerasa sekarang bahkan sebelum
aku meminumnya.
Sesederhana itu Bapak
membahasakan kasih sayangnya. Sesederhana telepon selepas jam kantor hanya
untuk memastikan keluarganya dirumah. Sesederhana kalimat “nanti Bapak jemput”
sudah membuat hati ini tentram seketika.
Nggak tau lagi deh hidup aku
tanpa mereka seperti apa. Yang jelas, apapun yang aku lakukan sekarang semuanya
buat membahagiakan mereka berdua. Setiap ada yang menggoyahkan niat baik ku,
pasti ada dua orang itu yang selalu menguatkan. Dan aku selalu pastikan ada dua
orang yang namanya selalu aku sebut disetiap doa. Bapak dan Mama. J
Ngomong-ngomong, kamu juga kan?


No comments:
Post a Comment