Tuesday, February 02, 2016

# ayah # cerita kehidupan

Dua orang yang selalu ku sebut dalam doa





“Assalamualikum..”
“Lagi apa, Nduk? Ibu sudah pulang?”
“Oh.. yaudah sebentar lagi paling, tunggu aja.”
“Tadi lagi main sama siapa sih?”
“Ini Ayah masih di angkot, abis itu naik kereta.”
“Mau dibawain apa, Nduk?”
“Beneran gak mau apa-apa?”
“Ayah gak capek kok.”
“Yaudah tunggu Ibu pulang aja ya. Assalamualikum..”

Kira-kira seperti itu lah percakapan telfon seorang pria paruh baya yang secara tidak sengaja aku dengar di Metromini sepulang kantor. Nada suaranya rendah, pun tidak terlalu lembut tetapi sangat hangat, membuat aku yang mendengarnya pun luluh. Seorang pria berpenampilan sederhana, dengan setelan pegawai kantoran biasa, seperti pegawai-pegawai kantor pada umumnya. Tanpa menebak-nebak pun aku tahu, dia sedang menelepon putrinya dirumah. Dengan panggilan ‘Nduk’ khas Jawa yang sangat terdengar halus untuk panggilan seorang anak perempuan. Tidak ada yang istimewa kelihatannya, tetapi sekilas dari raut wajah yang berhasil aku tangkap, dia jelas adalah seorang ayah yang pekerja keras. Rambutnya sedikit botak pada bagian dahi, mungkin karena dia terlalu sering berpikir setiap hari anak-anak dan istrinya harus cukup memakan makanan yang bergizi. Dari setelan pakaian dari kemeja sampai sepatunya yang tidak begitu mentereng menggambarkan dia adalah orang yang sederhana.

Seketika pikiran ku langsung melayang memikirkan Bapak. Sesosok laki-laki yang namanya tidak pernah luput dalam setiap ibadah ku. Sesosok laki-laki yang lebih mementingkan anak-anak dan istrinya ketimbang dirinya sendiri. Yang tak pernah takut apapun, kecuali Penciptanya. Kasih sayangnya memang tidak secara langsung kita bisa rasakan sehari-hari. Tetapi dibalik itu semua dia sekhawatir Ibu. Menelepon anaknya untuk memastikan semua baik-baik saja. Menanyakan kabar Istrinya yang (mungkin) juga bekerja seperti bapak-bapak tadi yang secara tidak sengaja percakapannya ku dengar di telpon.

Seperti saat Bapak menjemput ku di stasiun hampir tengah malam hari, karena ada kegiatan kampusku. Beliau justru sudah sampai bahkan saat sebelum aku memintanya menjemputku. Dan ya, beliau menunggu ku hampir lebih dari setengah jam di stasiun hanya untuk memastikan putrinya ini pulang dengan selamat. Kasih sayangnya tidak pernah terbaca secara langsung oleh anak-anaknya, tetapi rasanya begitu nyata.

“Capek, Kak?” Beliau bahkan mengajak ku ber-toss-ria dahulu saat bertemu, ketimbang menyalaminya. Tetapi toh aku tetap menyalaminya setelah menerima ritual unik beliau tadi hahaha.

“ya gitu deh, udah lama, Pak?”

“Enggak, sebentar kok.” Padahal aku sudah dikasih tau Mama dari setengah jam yang lalu kalau Bapak udah jemput. Menunggu putrinya pulang kampus malem-malem selama hampir setengah jam, dibilang sebentar :”)

“Ada teh dirumah, Mama baru buat. Masih hangat.” Siapa yang nggak luluh mendengar beliau ngomong begitu?

Udah dijemput, dibuatin teh hangat pula. Memang sih bukan Bapak langsung yang membuat tehnya, tetapi seketika hangatnya teh yang di buat Mama udah kerasa sekarang bahkan sebelum aku meminumnya.

Sesederhana itu Bapak membahasakan kasih sayangnya. Sesederhana telepon selepas jam kantor hanya untuk memastikan keluarganya dirumah. Sesederhana kalimat “nanti Bapak jemput” sudah membuat hati ini tentram seketika.
Nggak tau lagi deh hidup aku tanpa mereka seperti apa. Yang jelas, apapun yang aku lakukan sekarang semuanya buat membahagiakan mereka berdua. Setiap ada yang menggoyahkan niat baik ku, pasti ada dua orang itu yang selalu menguatkan. Dan aku selalu pastikan ada dua orang yang namanya selalu aku sebut disetiap doa. Bapak dan Mama. J




Ngomong-ngomong, kamu juga kan?

No comments:

Post a Comment