Wednesday, August 12, 2015

Prioritas




Di pagi hari yang hangat, matahari pukul 10 pagi sedang semangat-semangatnya bersinar. Terdengar suara announcer stasiun memberi informasi bahwa kereta tujuan Jakarta Kota akan segera tiba di Stasiun Bekasi. Ditengah keramaian orang berlalu-lalang, terdengar sayup-sayup suara seorang gadis cilik berpipi merah dan bulat berujar kepada Ibunya, "Kereta udah dateng, Bun! Itu! Ayo, Cepet..." suaranya riang, sepertinya ini adalah kali pertamanya dia menaiki kereta api. Semangat sekali. Terlihat  ibunya kewalahan ditarik-tarik oleh anaknya sendiri.

Penumpang langsung menumpuk mengambil posisi didepan pintu kereta api yang akan di buka. Stasiun Bekasi memang selalu ramai penumpang di jam berapapun. Kebetulan aku memilih untuk memasuki gerbong khusus penumpang wanita. Dan memilih untuk bersandar di pojok tiang dekat dengan pintu yang tidak terbuka. Karena tidak mendapatkan duduk, lagipula pada jam-jam segini kebanyakan penumpang terlihat sangat terburu-buru untuk menyerbu kursi hanya demi mendapatkan duduk. Ya lebih baik mengalah saja, toh pada stasiun-stasiun berikutnya juga akan banyak yang lebih membutuhkan duduk dibanding aku.

10 menit kemudian, announcer di dalam kereta mengumumkan bahwa keberangkatan kereta 5 menit lagi. Si anak kecil, yang umurnya kira-kira 5 atau 6 tahun, masih dengan muka riangnya, berceloteh panjang bertanya-tanya tentang apapun yang di lihatnya di dalam gerbong. Entah soal warna kursinya, entah soal masinisnya, entah soal pintu otomatisnya. Semua ia tanya kan sampai-sampai sang ibu terlihat gemas dan kewalahan. "Sesaat lagi pintu akan di tutup. Di mohon penumpang segera memasuki kereta."

Kedua ibu dan anak itu berdiri. Tidak ada satupun dari penumpang yang duduk memberikan kursi untuk si anak perempuan itu. Setidaknya sedikit bagian kursi. Ah, tahu apa anak kecil itu soal kemanusiaan, dia hanya tertarik dengan isi kereta dan sibuk bertanya-tanya kepada Ibunya yang juga kerepotan membawa tas ransel anaknya dan beberapa bawaan lain yang menggantung ditangannya.
"Bun.. Itu pintunya kok bisa barengan tutupnya, Bun? Siapa yang nutup, Bun?" suara mungil si bocah lucu itu mulai terdengar lagi. Masih dengan rasa penasarannya. Ibunya hanya menjawab seperlunya, "ada remote-nya dek. yang mencet masinis." Jawab sang ibu sambil berpegangan dengan benda yang tergelantung diatas. Tangan kanannya menggandeng si anak , tangan kirinya memegang bandulan pegangan kereta.

Announcer menginformasikan stasiun selanjutnya adalah Stasiun Kranji. Tiba-tiba si nenek yang duduk di salah satu pojok di deretan kursi didepan ibu dan anak itu berdiri, dan menepuk bahu sang Ibu. "Bu.. anaknya suruh duduk disitu aja. Saya pindah ke prioritas." Seketika 7 perempuan yang duduk berderetan di sebelah si nenek bengong, dan langsung menunduk malu karena yang mengalah justru si nenek. Bukannya mereka, yang lebih muda. Sang Ibu menolak dengan halus, “gapapa, Nek. Udah duduk aj—“ belum selesai kalimat sang Ibu, perempuan ciliknya itu sudah menempati kursi yang di beri si Nenek. “Makasih, Nenek..” katanya sambil mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dengan riang. Si nenek hanya tersenyum dan segera berbalik badan mencari kursi prioritas yang kosong di gerbong sebelah.

Semua itu tentang prioritas, bukan? Ada yang harus mengalah dan menggugurkan salah satu apa yang dia punya hanya untuk diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Ini bukan lagi soal cerita diatas. Ini tentang hidup. Dalam setiap hidup manusia pasti memiliki prioritas. Keluarga, Karir, Pendidikan, Teman, Pasangan. Itu semua termasuk kedalam daftar prioritas hidup manusia dengan urutan yang acak, tergantung manusianya yang memprioritaskan. Jelas, apapun yang masuk kedalam daftar prioritas adalah penting. Tergantung seberapa sering kita harus berhadapan dengan salah satu prioritas tersebut. Semakin sering, semakin penting. Kalau kamu pernah menjadi bagian dari daftar prioritas hidup seseorang, selamat. Kamu pernah menjadi bagian yang terpenting didalam hidupnya. Tapi coba cek kembali, kamu ada di urutan keberapa?


Rumah, 12 Agustus 2015.

No comments:

Post a Comment