Thursday, December 06, 2012

Kita (Part II)

"Bunda mau nunjukin salah satu tempat yang paling tenang.........kamu dirumah kan? bunda mau jemput ke rumah ya? kamu siap-siap." Segelintir kata-kata yang baru saja diucapkan bunda berhasil membuatku setengah mati penasaran. Bergegas aku bersiap-siap dan tidak ingin membuat bunda menunggu. Berkeliling-liling bebas pikiran indah yang mengambang liar di otak ku, rasa-rasa tempat yang tenang tak ubahnya sebuah tempat yang sepi,hening,elok dan indah. Itu lah tenang.

Diperjalanan yang cukup panjang, bunda sedikit terlihat pucat dan takut. Bunda sakit kah? Ah....Rasanya tidak mungkin kalau tempat yang akan bunda tunjukan nanti adalah tempat yang paling tenang, semacam paradoks yang tergambar simpul dibenak bunda. Aku gagal menterjemahkan isyaratnya. 

Sesaat kemudian.....
"Nda....Ini kan San Diego Hills" Bibirku kelu seketika itu juga. Aku tak berani menatap mata bunda. Tapi dengan lirih bunda berkata "Kiera...Bunda sudah pikirkan ini matang-matang. Bunda kira ini adalah waktu yang tepat sampai kamu siap menerima kenyataan..." Aku melihat matanya basah. Sekarang pelupuk itu sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Air mata itu akhirnya jatuh, jatuh di pipi bunda yang memucat.

Tapi aku kaku, berjalan bak robot dengan tangan dingin yang dituntun bunda dari mobil. Sampai sesaat kemudian kita berdua sampai, di depan kedua makam yang berdampingan tenang, dengan banyak bunga di sekitarnya, harum, damai menjulur-julur direlung setiap inch otak ku. Aku tak ingin bertanya banyak apa maksud bunda mengajak ku ketempat ini, cukup hanya memeluknya setelah ku baca papan nisan itu. Memeluk bunda dengan erat, sangat erat serasa bunda pergi esok. Tapi aku tahu maksud bunda....

"Orang tuamu ditempat tenang sekarang, mereka mengalami kecelakaan pesawat saat ingin mengunjungi mu waktu kamu masih ku rawat. Ya.....Aku pengasuhmu, hanya seorang pengasuh yang memilih lebih baik menjadi perawan tua daripada meninggalkan bayi Kiera kecil sendirian, sebatang kara."

"Itulah sebabnya kamu tidak pernah mengenal sosok ayah. Maafkan aku, aku tidak pernah bermaksud untuk menutupi ini. Tapi aku hanya ingin mencari waktu yang pas hingga kamu bisa memahami situasi, memahami kenyataan"

Aku. Masih. Mematung. Mencoba mencerna setiap kata-kata yang terucap dari wanita dihadapanku, yang seumur hidupku selalu ku panggil dengan sebutan 'Bunda' dan sekarang, beliau, untuk yang pertama kalinya menyebut dirinya dengan sebutan 'Aku'. Ini kikuk. 

"Bunda yang ada dihadapanku ini tetaplah bunda yang aku kenal"
"Maafin Bunda ya?"
"Maaf untuk apa,Nda? Aku yang harusnya bilang makasih ke bunda"

Isak tangis sempat mewarnai perbincangan kita berdua saat itu. Dan aku sangat paham, ini adalah tempat tenang itu. Ya, aku tenang, Bunda tenang, dan tentunya Bunda dan Ayah di Surga lebih tenang.

Aku sering kali ditampar kenyataan, dan sering kali memaafkan keadaan. Terkadang aku lelah selalu memakai topeng orang baik hati, yang selalu berpura-pura semua baik-baik saja. Tapi aku paham, ini adalah kuasanya untuk memberi ujian demi ujian untuk orang terpilih. Sepertiku. 

Kali ini, kita akan terus menjadi "kita" dan tidak akan pernah berubah menjadi "Aku, dia, engkau, dan beliau." Hidup itu masalah kesakitan yang memperkokoh iman.

No comments:

Post a Comment