Saturday, March 07, 2020

Perempuan dan Tubuhnya.

freepik.com


Belakangan ini santer berita tentang body positivity yang ditrigger dari postingan seorang public figure bernama Tara Basro. Mbak Tara ini menampilkan foto dengan seapa ada nya mungkin bentuk tubuh dan warna kulitnya, serta captionnya yang menjelaskan bahwa mbak Tara sudah cukup mencintai bentuk tubuhnya. Dia menunjukkan perutnya yang berlipat, dan lengannya yang cukup besar.

Tapi apa semua orang bisa menerima postingan itu? tentu saja tidak.
Saya jadi teringat dengan buku karya Nawal el Saadawi berjudul Perempuan di Titik Nol. Banyak sekali isu yang buku itu ceritakan tentang hidup menjadi perempuan. Oke, kalo kamu belum pernah baca, saya beri sedikit sinopsisnya.

Buku itu menceritakan tentang perempuan bernama Firdaus. Hidupnya dari kecil ini memang sulit sekali, orang tuanya merupakan orang kecil, ayahnya seorang petani dan ibunya hanya membantu dirumah. Firdaus kemudian "diperjual belikan" oleh orang tua nya demi menyambung hidup dengan cara menyerahkan ke orang lain. Seringnya Firdaus mendapatkan perlakuan tidak senonoh dan tak layak sebagai seorang anak dibawah umur, dari dianiaya, dan diperkosa bahkan oleh pamannya sendiri. Dia yang bertubuh kecil dan tidak berdaya hanya bisa kabur dari satu tempat ke tempat lain. Hingga ditengah perjalanan, dia bertemu oleh perempuan yang setelah diketahui adalah seorang pelacur. Dari titik itu, Firdaus bekerja untuk melacur dan menjadi anak buah dari perempuan yang ditemuinya itu.
Ada satu kalimat dari buku tersebut yang cukup menusuk dan relate dengan kehidupan sekarang, "Semua orang harus mati Firdaus. Saya akan mati dan kamu akan mati. Dan yang penting ialah bagaimana untuk hidup sampai mati. Kita harus lebih keras dari hidup, Firdaus. Hidup itu amat keras. Yang hanya hidup ialah orang-orang yang lebih keras dari hidupnya sendiri"


Firdaus menjadi sosok yang keras dan berpendirian karena terus ditimpa oleh hidup. Hingga suatu ketika dia bertemu dengan laki-laki berpendidikan disalah satu perusahaan, lelaki revolusioner dan memperjuangan hak dan pemerataan karyawan. Disitu Firdaus berperan membantunya, lambat laun Firdaus merasa jatuh cinta dan mereka semakin dekat. Namun tanpa ada angin dan hujan, tiba-tiba tersiar kabar bahwa lelaki pujaannya tersebut telah menikahi anak seorang Presiden Direktur perusahaan tersebut. Tentu saja Firdaus sakit hati luar biasa dan jiwa pemberontakannya muncul. Dia kembali dalam dunia malam, menjalani profesi menjadi seorang pelacur bekelas. Prinsipnya adalah "Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya merasa cerdas maka saya memilih untuk menjadi pelacur yang bebas dari pada seorang isteri yang diperbudak." (hal 133)  



Dia meraup banyak untung dan menjadi kaya setelah bermain dengan banyak pejabat dan petinggi-petinggi perusahaan yang bukan main uangnya. Hingga suatu ketika dia melakukan pemberontakan kembali karena merasa diperlakukan tidak adil dari germonya, Marzouk. Marzouk yang mengancam dengan sebilah pisau tidak berhasil menumbangkan Firdaus yang berapi-api. Direbutnya pisau tersebut dan ditancapkannya ke perut Marzouk berkali-kali. 



Hingga diketahui, Firdaus masuk ke tahanan penjara khusus wanita. Sebenarnya dia bisa saja mengajukan grasi kepada Presiden, namun yang dia katakan malah, "Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan. Ketika saya membunuh. Saya lakukan hal dengan kebenaran bukan dengan pisau. Kebenaran saya itulah yang menakutkan mereka. Kebenaran yang menakutkan ini telah memberikan kepada saya kekuatan yang besar."  Firdaus menolak grasi yang diberikannya dari Presiden dan memilih untuk menerima hukuman matinya.




Kurang lebih begitu singkat cerita novel kecil bersampul warna merah darah itu. Seringnya jiwa memberontak saya terpacu ketika membaca novel itu. Sampai sekarang jika dihubung-hubungkan dengan kasus yang saya bahas diawal tadi, tentang postingan Mbak Tara. Bahwa perempuan sejatinya tidak pernah benar-benar memiliki apapun, bahkan tubuhnya saja tidak. Bagaimana bisa, seorang perempuan yang bahagia dan menerima kekurangan dan kelebihan tubuhnya menjadi sasaran empuk laki-laki berpikiran selangkangan untuk mencekal postingan tersebut? Dari segi mananya seorang perempuan yang mencintai tubuhnya dan diprotes karena telah melanggar UU ITE? Karena memuat konten pornografi, karena tidak pantas dilihat oleh anak dibawah umur? Tidak kah miris?

Padahal bisa saja para orang tua yang anaknya telanjur melihat foto mbak Tara itu menjelaskan
"Ini lho badan kita nanti kalo sudah dewasa, ndak apa apa punya perut gak rata, yang penting bahagia dan sehat" 
Apa susahnya mengedukasi anak-anak bahwa tidak semua hal bisa dikategorikan pornografi dengan tidak memperhatikan konteks gambar yang dimaksudkan mbak Tara itu? Saya tu udah kesal banget kalo ada yang nyenggol-nyenggol tentang hak kebebasan perempuan. Bahkan ranah tubuh seorang perempuan aja mesti banget di perhatiin dan ditanggapi berlebihan oleh pemerintah. 
Ya, perempuan dan tubuhnya masih akan terus selalu menjadi polemik di tengah masyarakat yang masih kental patrialisme ini.

No comments:

Post a Comment