Monday, January 05, 2015

5 Januari 2015.




Hari pertama masuk sekolah. Hari dimana temu kangen sama temen sekelas, setelah libur panjang. Hari dimana guru-guru jarang ada yang ngisi kelas. Hari pertama kali upacara di tahun baru. Hari dimana masih sempet-sempetnya ngerencanain main setelah pulang sekolah karena pulang cepet. Tapi juga ini adalah hari dimana gue sadar, ternyata itu semua udah berlalu 2 tahun yang lalu. Karena gue udah nggak mungkin ngerasain itu semua lagi. Gue udah nggak berseragam putih abu-abu lagi. Gue udah nggak seberani ngebolos sekolah demi ngeliat pertandingan basket lagi. Gue udah…..udah bukan di masa-masa itu lagi.

                Timeflies so fast, huh? Bukan karena gue nggak bisa move on dari masa SMA. It’s kind of missing something that you could never do it again. Cuma kangen. Cuma mau ngelampiasin perasaan dimana kuliah nggak semudah pikiran SMA gue dulu. Di pikiran SMA gue kuliah itu asik. Baju bebas, tas bebas, make up bebas, kendaraan bebas. Kuliah itu mencerminkan the real you. Karena lo udah nggak melulu diatur dengan sebatas seragam atau peraturan-peraturan kayak jaman SMA, yang kalo make rok span aja di kejar-kejar guru BP. Yang tiap hari mesti buru-buru berangkat sekolah karena takut gerbang udah ketutup. But the things is, you have got to move from the past.

                Setidaknya gue punya masa-masa konyol untuk gue ceritakan ke anak-anak gue nanti. Kalau ibunya dulu pernah kebanjiran demi masuk sekolah. Kalau ibunya dulu pernah di robek roknya karena nggak sesuai peraturan. Kalau ibunya dulu pernah ngongkrong sampe lupa waktu dan takut pulang kerumah. Karena semua cerita ini bukan untuk dicontoh kelak untuk anak-anaknya. Tapi untuk pelajaran, anak-anaknya harus lebih baik dari ibunya.

                5 Januari 2015. Tanggal hanya sebuah tanggal kalo nggak ada ceritanya. Sama seperti, hidup hanya lah bernafas tanpa melakukan apa-apa. Tahun ini gue nggak membuat resolusi-resolusi yang ujung-ujungnya nggak terlaksana. Tahun ini gue Cuma mau focus ke satu mimpi gue. Menerbitkan satu buku. Punya mimpi nerbitin buku udah dari SD kelas 6. Sampe gue cerita ketemen-temen ngaji gue, nama gue akan terpajang di etalase di toko buku. Tapi itu semua nggak akan terwujud kalau gue nggak melakukannya. Because dreams don’t work, unless I do. Gue udah terlalu banyak memakan waktu menganalisa, ngumpulin tips menulis, dan milah-milah cerita. Yang harus gue lakukan sekarang adalah memulai menulis.  I do read so many book. I do learn from the Author. Menulis itu ternyata sulit. Selama menulis gue merasa seperti bertengkar dengan diri sendiri. Selama merangkai alur cerita gue seperti berdebat dengan diri sendiri. Selama mengetik gue seperti menyuruh diri sendiri untuk jangan berhenti. Gue seperti dua orang yang berbeda. Gue bukan amoeba yang bisa membelah menjadi dua, tetapi rasanya ada orang lain yang hidup di kepala gue dan sering memberikan ide dan meneriaki kuping gue untuk jangan berhenti menulis.

                So, my time is limited. Ngutip dari Jobs nih. Tapi itu lumayan ampuh untuk bikin gue terdorong untuk nggak berenti nulis. Motivasi gue menulis adalah gue takut kalau mati nanti, gue tidak dikenal sebagai ‘seseorang’. Bukan berarti untuk dikenal sebagai ‘seseorang’ itu harus menulis sih, tapi definisi gue sebagai ‘seseorang’ (setidaknya diingat) lewat karya yang di ciptakannya kan? Gue menciptakan buku, berarti gue akan di kenang sebagai seseorang penulis.


                Gue paham, diri gue yang ini sangat suka menunda pekerjaan, tapi diri gue yang lain sering ngasih reminder kalau gue terlalu sering membuang waktu. Sama seperti gue sukanggak konsisten dengan apa yang gue mulai tetapi nggak gue selesaikan. Sehingga diri gue yang lain terpacu untuk terus ‘ngingetin’ kalau gue harus punya mimpi yang di selesaikan. Tetapi manusia suka lupa, mimpi kita sebenernya cuma sejarak antara kening dan sajadah aja. Tergantung sejauh mana kamu melakukan usaha untuk meraih mimpi-mimpi tersebut.


No comments:

Post a Comment